Jakarta, Updatesecaracepat – Kwik Djoen Eng, salah satu orang terkaya di Indonesia pada masa kolonial, harus menerima kenyataan pahit di akhir hidupnya. Bisnis besar yang ia bangun dengan susah payah hancur lebur akibat terlilit utang.
Membangun Kerajaan Bisnis Gula
Dikenal sebagai pengusaha sukses, Kwik Djoen Eng memulai perjalanan bisnisnya pada tahun 1877. Sebagai warga Fujian, China, yang berbisnis di Jawa, ia bersama saudaranya mendirikan perusahaan bernama Kwik Hoo Tong Handelmaatschappij (KHT) pada 17 Juli 1894. KHT bergerak dalam perdagangan hasil bumi seperti gula, teh, beras, minyak kelapa, dan arang.
Kwik berhasil memimpin perusahaan tersebut dan menjadikannya salah satu yang paling besar dan berpengaruh. Kepiawaiannya dalam berkomunikasi membuatnya dipercaya oleh banyak bank besar untuk memberikan pinjaman. Tidak hanya Bank Sentral Hindia Belanda, de Javasche Bank, yang memercayainya, tetapi juga Bank of Taiwan, Bank Jepang, dan Standard Chartered, bank asal Inggris.
Dengan akses pembiayaan yang mudah, bisnis KHT pun melesat. Khususnya di sektor gula, KHT menjadi pemain utama yang menyaingi perusahaan gula Kian Gwan, milik Oei Tiong Ham, yang dikenal sebagai “raja gula”. Pada tahun 1920, KHT masuk dalam daftar lima perusahaan terbesar dunia, dengan keuntungan mencapai 14 juta gulden. Bisnisnya yang awalnya berpusat di Solo ini berkembang pesat, merambah China dan Jepang, serta aktif berinvestasi di berbagai perusahaan dan bank.
Kekayaan yang Menggiurkan dan Kehidupan Mewah
Di puncak kejayaannya, Kwik Djoen Eng memiliki kekayaan pribadi mencapai 50 juta gulden, menjadikannya salah satu orang terkaya pada masa penjajahan. Kekayaan itu ia gunakan untuk membangun beberapa istana megah yang tersebar di berbagai wilayah.
Namun, dibalik kesuksesannya, ada utang besar yang mengancam. Meskipun Kwik pandai mendapatkan kredit dari bank, ia juga harus menanggung beban utang yang semakin menumpuk. Bisnis KHT memang sempat mampu mencicil utang-utang tersebut, namun mulai tahun 1925, ketika omset merosot, pembayaran utang pun mulai terhambat.
Gali Lubang Tutup Lubang: Jalan Menuju Kehancuran
Ketika omset menurun drastis, KHT terpaksa menggunakan sistem “gali lubang tutup lubang” untuk bertahan. Ini adalah strategi meminjam uang lagi untuk menutupi utang yang ada. Sayangnya, utang semakin menumpuk dan KHT tidak lagi mampu membayar.
Pihak bank kreditur mulai memberi peringatan, dan pemerintah pun mengancam akan melakukan intervensi serta mengajukan kebangkrutan jika tidak ada solusi yang ditawarkan.
Kejatuhan yang Menyakitkan
Pada minggu terakhir Januari 1935, setelah 40 tahun membangun kerajaan bisnis yang begitu besar, KHT akhirnya dinyatakan bangkrut. Semua aset yang dimiliki KHT dan Kwik Djoen Eng disita oleh de Javasche Bank, yang kini dikenal sebagai Bank Indonesia.
Namun, penyitaan ini tidak mampu menutupi seluruh utang yang ada, karena jumlahnya yang sangat besar. Tragisnya, pada saat penyitaan berlangsung, Kwik Djoen Eng meninggal dunia. Ia wafat dalam keadaan miskin, tanpa harta sedikit pun.
Jejak Kehidupan yang Tersisa
Meski harta benda telah lenyap, jejak kehidupan Kwik Djoen Eng masih bisa ditemukan melalui salah satu warisan yang ia tinggalkan: istana megah yang kini berdiri di Semarang. Kisahnya mengingatkan kita bahwa di balik kesuksesan besar, ada risiko besar yang bisa mengancam setiap pengusaha.