Jakarta, Updatejakarta – Elon Musk kini tengah menghadapi krisis besar. Satu per satu, bisnis yang ia jalankan mulai menunjukkan tanda-tanda kehancuran, sementara gerakan anti-Musk semakin menguat. Beberapa perusahaan milik orang terkaya di dunia ini juga semakin menjadi sasaran boikot.
Showroom Tesla di berbagai negara bagian Amerika Serikat (AS) digeruduk oleh ratusan demonstran. Aksi ini adalah bagian dari gerakan “Tesla Takedown” yang dimulai sejak 15 Februari lalu.
Beberapa faktor diperkirakan menjadi pemicu dari boikot Tesla ini. Salah satunya adalah kritik terhadap pemangkasan besar-besaran yang dilakukan oleh Lembaga Efisiensi Pemerintah (DOGE), yang dipimpin oleh Musk. Pemangkasan anggaran tersebut mengakibatkan pemecatan PNS, penghapusan program-program federal, dan rencana konsolidasi lembaga pemerintah. Hal ini dilakukan bersamaan dengan upaya Musk untuk meloloskan kontrak-kontrak pemerintah bagi bisnis-bisnisnya.
Namun, bukan hanya kebijakan pemerintah yang dikritik, tetapi juga sikap politik Musk yang mendukung partai sayap kanan di Jerman, serta sejumlah tuduhan terhadap politisi Inggris tanpa dasar. Musk juga menuai kontroversi ketika berpose mirip ‘salute’ ala Nazi pada pelantikan Donald Trump. Sebelumnya, platform X milik Musk telah lebih dulu ditinggalkan pengguna karena dianggap sebagai alat untuk menyebarkan propaganda guna memenangkan Trump.
Boikot Tesla Semakin Meluas
Awalnya, penyerangan showroom Tesla hanya terjadi di beberapa tempat. Namun, aksi ini semakin meluas setelah Jaksa Agung Pam Bondi bersumpah untuk menindak aksi vandalisme terhadap Tesla. Presiden AS Donald Trump juga ikut mengomentari peristiwa ini, menyebutnya sebagai “terorisme domestik” dan bahkan menyebut aksi boikot Tesla sebagai tindakan ilegal.
Pernyataan Trump ini muncul sehari setelah saham Tesla mengalami penurunan terburuk dalam hampir lima tahun terakhir, pada Senin (10/3). Penurunan ini mengindikasikan betapa dalamnya dampak protes terhadap perusahaan Tesla.
Di berbagai daerah, penjualan Tesla menurun, sementara pemilik mobil Tesla di AS mulai menempelkan stiker-stiker yang menunjukkan kemarahan mereka terhadap Musk. “Mereka [penyerang showroom Tesla] membahayakan perusahaan AS yang hebat,” ujar Trump, dikutip dari The Guardian, pekan lalu.
“Elon Musk bertaruh untuk membantu negara kita, dan dia melakukan pekerjaan luar biasa! Namun, kaum kiri radikal mencoba memboikot Tesla secara ilegal dan kolusi,” tulis Trump di akun Truth Social miliknya pada Selasa (11/3).
Gerakan protes “Tesla Takedown” dimulai oleh aktor dan pembuat film Hollywood, Alex Winter, serta Joan Donovan, asisten profesor di Universitas Boston. Gerakan ini menyerukan orang-orang untuk menjual mobil Tesla mereka, membuang saham Tesla, dan bergabung dengan gerakan ini.
Lebih dari 80 demonstrasi sudah dijadwalkan pada akhir pekan lalu, dan lebih dari 70 demonstrasi lainnya direncanakan hingga akhir April, menurut situs web Tesla Takedown. Di Dedham, pinggiran kota Boston, sekitar 100 demonstran berkumpul di showroom Tesla, sementara di daerah West Chester, Philadelphia, jumlah demonstran mencapai angka yang sama. Di Baltimore, peserta demo bahkan mencapai 300 orang.
Di Washington, DC, lebih dari 50 demonstran berkumpul di luar showroom Tesla sambil memegang spanduk dan menari diiringi lagu-lagu dari Beyonce dan Daft Punk, dengan para pengemudi yang lewat membunyikan klakson sebagai bentuk dukungan.
Sara Steffens, mantan jurnalis dan advokat kebijakan, bersama Melissa Knutson, seorang wiraswasta, berencana mengubah demonstrasi menjadi sebuah pesta dansa. “Kita harus bergembira karena ini perjalanan panjang, dan kita harus memperluas gerakan ini untuk melawan otoritarianisme,” kata Knutson, seperti dikutip dari CNN.
Dampak Terhadap Reputasi Tesla
Opini negatif terhadap Musk mulai merusak reputasi Tesla. Jessica Caldwell, Kepala Situs Otomotif Edmunds, mengatakan bahwa perhatian negatif ini dapat membuat konsumen lebih mempertimbangkan untuk beralih ke merek mobil listrik lainnya. Bahkan, sebelum protes ini dimulai, pangsa pasar Tesla sudah mulai melemah karena banyak produsen mobil lain yang meluncurkan kendaraan listrik baru.
“Beberapa investor mungkin berharap ini hanya gejolak jangka pendek dan bahwa semuanya akan kembali lancar, tetapi kita masih belum bisa memastikan,” kata Caldwell. Ia menilai, terlalu dini untuk mengatakan apakah para pemilik Tesla akan menjual mobil mereka karena kritik terhadap Musk.
Starlink Mulai Kehilangan Pengguna
Setelah Tesla, kini Starlink, layanan internet satelit milik Musk, juga mulai ditinggalkan oleh penggunanya. Meskipun awalnya Starlink bertujuan untuk menghubungkan wilayah terpencil yang tidak terjangkau jaringan seluler, kini layanan tersebut semakin ditinggalkan oleh banyak orang.
Sejumlah pengguna Starlink di Eropa mulai frustasi dengan sikap politik Musk dan memilih untuk berhenti menggunakan layanan tersebut. Salah satunya adalah Barry Nisbet, pemain biola Skotlandia, yang mengaku merasa tidak nyaman dengan peran Musk dalam pemilu AS dan monopoli bisnisnya. “Saya sudah lama merasa tidak nyaman dengan Musk dan perannya dalam pemilu AS. Monopoli bisnisnya juga sangat mengganggu,” ujar Nisbet, dikutip dari The Guardian.
Di sisi lain, perusahaan layanan internet satelit Eutelsat dari Prancis mengalami lonjakan nilai saham hingga 500% setelah perselisihan antara Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy. CEO Eutelsat mengatakan bahwa layanannya akan menggantikan Starlink di Ukraina dalam beberapa bulan ke depan.
Eksodus Pengguna X
Selain Tesla dan Starlink, aplikasi X milik Musk juga menghadapi eksodus pengguna. Setelah kemenangan Trump dalam Pemilu AS, aplikasi pesaing X, Bluesky, mengalami lonjakan jumlah pengguna yang signifikan. Dalam sepekan setelah kemenangan Trump, Bluesky berhasil menambah 2,5 juta pengguna baru, dan total penggunanya melonjak menjadi 16 juta.
Sejumlah organisasi besar seperti Center for Countering Digital Hate, media The Guardian, dan mantan anchor CNN Don Lemon telah meninggalkan X karena khawatir dengan kebijakan konten di platform tersebut. Beberapa pakar misinformasi bahkan menyebut X sebagai platform yang memainkan peran penting dalam menyebarkan informasi sesat selama masa Pemilu AS.